|
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem
Pemerintahan
Dosen Pengampu : Drs. Yulianto B. Setyadi, M.Si

Oleh Kelompok
2 :
Prety Ayu Maharani (A220110038)
Zulfikar (A220110055)
Yulis Nursita Sari (A220110068)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
|
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sistem Pemerintahan Pada Masa
Kolonial Jepang
1.
Secara Historis
Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe sebagai Perdana
Menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang
tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan
tahun 1941 mereka melihat bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus
dihadapi sekaligus apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia
Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi, yang sangat
mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun untuk keperluan perang.
Terjadinya perang pasifik sangat
berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur,
termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia-Belanda adalah
untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung
potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat
penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai
sumber minyak utama.
|
a.
Menjadikan Indonesia sebagai daerah penghasil dan
penyuplai bahan mentah dan bahan baker bagi kepentingan industri Jepang.
b.
Menjadikan Indonesia sebagai tempat pemasaran hasil
industri Jepang. Indonesia dijadikan tempat pemasaran hasil industri Jepang
karena jumlah penduduk Indonesia sangat banyak.
c.
Menjadikan Indonesia sebagai tempat untuk mendapatkan
tenaga buruh yang banyak dengan upah yang relatif murah.
Untuk memperlancar tujuan maka
Jepang harus mampu membungkus tujuan yang jelas-jelas merugikan bangsa
Indonesia dengan berbagai propaganda agar diterima oleh bangsa Indonesia. Propaganda
Jepang yang menarik simpati rakyat Indonesia adalah sebagai berikut :
a.
Jepang adalah “saudara tua” bagi bangsa-bangsa di Asia
dan berjanji membebaskan Asia dari penindasan bangsa Barat,
b.
Jepang memperkenalkan semboyan “Gerakan Tiga A”:
Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya Asia,
c.
Jepang menjanjikan kemudahan bagi bangsa Indonesia,
seperti janji menunaikan ibadah haji, menjual barang dengan harga murah,
d.
Jepang memperkenankan pengibaran bendera merah putih
bersama bendera Jepang Hinomaru,
e.
Rakyat Indonesia boleh menyanyikan lagu “Indonesia
Raya” bersama lagu kebangsaan Jepang “Kimigayo”.
2. Secara Yuridis
Kebijakan Pemerintahan Daerah pada waktu bala tentara Jepang berkuasa, Pemerintah Jepang
melaksanakan pemerintahan militer di wilayah Hindia Belanda berdasar UU No. 1 tahun 1942. Pada masa penjajahan Jepang juga terdapat regulasi yang mengatur
tentang hukum adat di Indonesia, yaitu pada Pasal 3 UU No.1 Tahun 1942 yang
menjelaskan bahwa semua badan pemerintah dan kekuasaanya, hukum dan UU dari
pemerintah yang dahulu tetap diakui sah buat sementara waktu saja, asal tidak
bertentangan dengan peraturan militer. Arti dari Pasal tersebut adalah hukum
adat yang diatur pada saat masa penjajahan Jepang sama ketika pada masa Hindia
Belanda, tetapi harus sesuai dengan peraturan militer Jepang dan tidak boleh
bertentangan. Pada hakikatnya dasar yuridis berlakunya hukum adat pada masa
penjajahan Jepang hanya merupakan ketentuan peralihan karena masanya yang
pendek. Pada tangga l8 September 1942 dikeluarkan UU no. 2 Jepang mengendalikan seluruh organisasi nasional. Pemeritahan daerah diatur dengan Osamuserei No. 27 tahun 1942,
yang menetapkan penghapusan dewan dewan daerah.
Osamuserei adalah peraturan atau
Undang-Undang yang cenderung berbau otoriter / pemaksaan.
Dengan
penghapusan dewan-dewan daerah ini, terbentuklah sistem pemerintahan tunggal di
daerah-daerah otonom. Kepala-kepala daerah Syuutyookan
mempunyai kekuasaan yang sangat besar untuk melaksanakan tugas-tugas militer
sehari-hari di bawah komando Gunseikan.
3. Secara Politis
Pada masa awal pendudukan, Jepang
menyebarkan propaganda yang menarik. Sikap Jepang pada awalnya menunjukkan
kelunakan, misalnya:
a. Mengizinkan bendera Merah Putih
dikibarkan di samping bendera Jepang,
b. Melarang penggunaan bahasa Belanda,
c. Mengizinkan penggunaan bahasa
Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dan
d. Mengizinkan menyanyikan lagu
Indonesia Raya,
e. Kebijakan Jepang yang lunak ternyata
tidak berjalan lama.
Jenderal Imamura mengubah semua
kebijakannya. Kegiatan politik dilarang dan semua organisasi politik yang ada
dibubarkan. Sebagai gantinya Jepang membentuk organisasi-organisasi baru. Organisasi-organisasi
yang didirikan Jepang antara lain Gerakan Tiga A, Putera, dan Jawa Hokokai. Pada dasarnya kebijakan politik
Jepang terhadap Rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas yakni menghapuskan
pengaruh barat dikalangan rakyat dan memobilisasi mereka demi kemenangan
tentara Jepang.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
lembaga – lembaga pemerintahan pada masa kolonial Jepang?
2. Bagaimana
hubungan antar lembaga – lembaga pada masa kolonial Jepang?
3. Bagaimana
keefektivitasan dari pelaksanaan pemerintahan pada masa kolonial Jepang?
|
PEMERINTAHAN
INDONESIA PADA MASA KOLONIAL JEPANG
1. Lembaga –
Lembaga Pemerintahan pada Masa Kolonial Jepang
Sistem Pemerintahan Jepang di Indonesia menegakkan
pemerintahan militer yang diperintah oleh Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Pada masa pendudukan Jepang Indonesia dibagi dalam 3 (tiga) wilayah
kekuasaan militer yaitu:
a.
Daerah Jawa
dan Madura dikuasai Komandan Pasukan Angkatan Darat Jepang yang ke-16 (Gunseikanbu Jawa) yang berkedudukan di
Jakarta
b.
Daerah
Sumatra dikuasai oleh Komandan Pasukan Angkatan Darat Jepang yang ke-25 (Gunseikanbu Sumatera) yang
berkedudukan di Bukittinggi
c.
Wilayah
kepulauan lainnya dikuasai Komandan Pasukan Angkatan Laut Jepang (Minseibu) yang berkedudukan di Makasar
(Ujung Pandang)
Pemerintahan tertinggi
dilakukan oleh perwira tinggi Jepang yang disebut “Saikoo Sikikan”. Dalam rangka
pelaksanaan tugas dekonsentrasi wilayah Jawa dan Madura dibagi atas:
a.
Syuu
(Karesidenan) dikepalai oleh seorang Syuu-Cookan
(Residen)
b.
Si (Kotapraja) dikepalai oleh
seorang Si-Coo (Walikota)
c.
Ken (Kabupaten) dikepalai oleh
seorang Ken-Coo (Bupati)
d.
Gun (Distrik) dikepalai oleh seorang
Gun-Coo (Wedana)
e.
Son (Kecamatan) dikepalai oleh
seorang Son-Coo (Camat)
f.
Ku (Desa) dikepalai oleh seorang Ku-Coo (Kepala Desa)
|
Mengenai
lembaga peradilan Raad van Justitie dan
Resi- dentiegerecht untuk golongan
Eropa dan yang disamakannya dihapus dan diganti dengan Tihoo Hooin sebagai lembaga peradilan tingkat pertama, yang meneruskan
Landraad, “Kootoo Hooin” sebagai lembaga peradilan tingkat banding, dan Saikoo Hooin sebagai lembaga peradilan
tingkat kasasi, yang menggantikan Hooggerechtshof.
Mengenai Algemeene Rekenkamer (semacam
BPK) oleh Pemerintah Militer Jepang tetap dipertahankan, sama halnya dengan
keadaan hukum Hindia Belanda, seperti Indische
Staateregeling dan jenis-jenis hukum lainnya, asal tidak bertentangan
dengan kebijaksanaan Pemerintah Militer Jepang.
Untuk
menjalankan pemerintahan militer secara langsung di Indonesia maka dibentuk
staf pemerintahan militer pusat yang disebut Gunseikanbu yang terdiri atas lima (5) macam bu (departemen), yaitu sebagai berikut:
a Sumabu (Departemen Urusan Umum)
b Zaimubu (Departemen Keuangan)
c Sangyobu (Departemen Perusahaan, Industri dan Kerajinan)
d Kotsubu (Departemen Lalu Lintas)
e Shihobu (Departemen Kehakiman)
2.
Hubungan
Antar Lembaga – Lembaga pada Masa Kolonial Jepang
Sejumlah tokoh nasionalis Indonesia banyak yang menggunakan kesempatan
pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Banyak di antara mereka
yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam lembaga-lembaga yang dibentuk
Jepang. Misalnya, Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas
Mansyur menduduki pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Mereka dikenal dengan
sebutan “Empat Serangkai”. Putera merupakan sebuah organisasi yang dibentuk
Jepang pada Maret 1943, bertujuan menggerakan rakyat Indonesia untuk mendukung
peperangan Jepang menghadapi Sekutu.
Melalui Putera, para pemimpin Indonesia dapat berhubungan dengan rakyat
secara langsung, baik melalui rapat-rapat maupun media massa milik Jepang.
Tokoh-tokoh Putera memanfaatkan organisasi-organisasi itu untuk menggembleng
mental dan membangkitkan semangat nasionalisme serta menumbuhkan rasa percaya
diri serta harga diri sebagai bangsa.
Mereka selalu menekankan pentingnya persatuan, pentingnya memupuk
terusmenerus semangat cinta tanah air, dan harus lebih memperhebat semangat
antiimperialisme- kolonialisme. Organisasi Putera mendapat sambutan yang hangat
dari seluruh rakyat. Namun, karena Putera nyatanya bermanfaat bagi bangsa
Indoensia, pemerintah Jepang akhirnya membubarkannya pada April 1944.
Selain melalui Putera, para pemimpin pergerakan juga berjuang melalui Badan
Pertimbangan Pusat atau Cou Sangi In yang dibentuk Jepang pada 5
September 1943. Badan ini beranggotakan 43 orang dan diketuai oleh Ir.
Soekarno. Dalam sidangnya pada 20 Oktober 1943, Cuo Sangi In menetapkan
bahwa agar Jepang menang dalam perang, perlu dikerahkan segala potensi dan
produksi dari rakyat Indoensia.
Untuk melaksanakan ketetapan itu dibentuklah berbagai kesatuan pemuda,
sebagai wadah penggemblengan mental dan semangat juang agar mereka menjadi
tenaga-tenaga pejuang yang militan. Berbagai kesatuan pemuda yang berhasil
dibentuk antara lain: Seinendan (Barisan Pemuda), Keibodan (Barisan
Pembantu Polisi), Seisyintai (Barisan Pelopor), Gakutotai (Barisan
Pelajar), dan Fujinkai (Barisan Wanita).
Pada saat penggemblengan mental itulah Ir. Soekarno selalu menyisipkan
penanaman jiwa dan semangat nasionalisme, pentingnya persatuan dan kesatuan
serta keberanian berjuang dengan risiko apa pun untuk menuju Indonesia merdeka.
Dengan demikian, kebijakan pemerintah Jepang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh
nasional untuk perjuangan. Para pemimpin Indonesia memanfaatkan organisasi ini
untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan. Jelas sekali, para pemimpin
Indonesia tidak bodoh untuk dibohongi oleh Jepang.
3.
Efektivitas
Pelaksanaan Pemerintahan Jepang di Indonesia
a. Aspek Politik
Kebijakan pertama yang dilakukan Dai Nippon (pemerintah militer
Jepang) adalah melarang semua rapat dan kegiatan politik. Pada tanggal 20 Maret 1942, dikeluarkan peraturan
yang membubarkan semua organisasi politik dan semua bentuk perkumpulan. Pada tanggal
8
September 1942 dikeluarkan
UU no. 2 Jepang mengendalikan seluruh organisasi nasional.
Jepang juga melakukan berbagai tindakan nyata berupa pembentukan badan-badan kerjasama seperti Putera (Pusat
Tenaga Rakyat) dengan tujuan membujuk kaum Nasionalis sekuler dan intelektual
agar menyerahkan tenaga dan pikirannya untuk mengabdi kepada Jepang. Jawa Hokokai (Himpunan
kebaktian Jawa) merupakan organisasi sentral dan terdiri dari berbagai macam
profesi (dokter, pendidik, kebaktian wanita pusat dan perusahaan).
Penerapan sistem Autarki (daerah yang harus memenuhi
kebutuhan sendiri dan kebutuhan perang). Sistem ini diterapkan di setiap
wilayah ekonomi. Contoh Jawa menjadi 17 daerah, Sumatera 3 daerah, dan Meinsefu
(daerah yang diperintah Angkatan Laut) 3 daerah. Setelah penyerahan kekuasaan
dari Belanda kepada Jepang di Kalijati maka seluruh daerah Hindia Belanda
menjadi 3 daerah pemerintahan militer. Daerah Jawa dan Madura dikuasai
oleh tentara keenambelas denagn kantor pusat di Batavia
(Jakarta).Daerah bagian Barat meliputi Sumatera dengan
kantor pusat di Bukittinggi dikuasai oleh tentara keduapuluhlima.Daerah
bagian Timur meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusantara, Maluku dan Irian Jaya dibawah kekuasaan armada selatan kedua dengan
pusatnya di Makassar.
Selain kebijakan politik di atas, pemerintah Militer
Jepang juga melakukan perubahan dalam birokrasi pemerintahan, diantaranya
adalah pembentukan organisasi pemerintahan di tingkat pusat dengan membentuk
Departemen dan pembentukan Cou Sang In/dewan penasehat.
b.
Aspek
Ekonomi dan Sosial
Pada dua aspek ini, bagaimana praktek eksploitasi ekonomi
dan sosial yang dilakukan Jepang terhadap bangsa Indonesia dan bisa membandingkan
dampak ekonomi dan social dengan dampak politis dan birokrasi. Hal-hal yang
diberlakukan dalam system pengaturan ekonomi pemerintah Jepang adalah sebagai berikut:
i.
Kegiatan ekonomi diarahkan untuk
kepentingan perang maka seluruh potensi sumber daya alam dan bahan mentah
digunakan untuk industri yang mendukung mesin perang. Jepang menyita seluruh
hasil perkebunan, pabrik, Bank dan perusahaan penting. Banyak lahan pertanian
yang terbengkelai akibat titik berat kebijakan difokuskan pada ekonomi dan
industri perang. Kondisi tersebut menyebabkan produksi pangan menurun dan
kelaparan serta kemiskinan meningkat drastis.
ii.
Jepang menerapkan sistem pengawasan
ekonomi secara ketat dengan sanksi pelanggaran yang sangat berat. Pengawasan
tersebut diterapkan pada penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan barang.
Pengendalian harga untuk mencegah meningkatnya harga barang. Pengawasan
perkebunan teh,
kopi,
karet,
tebu
dan sekaligus memonopoli penjualannya. Pembatasan teh, kopi dan tembakau,
karena tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan perang. Monopoli tebu dan gula,pemaksaan menanam
pohon jarak dan kapas pada lahan pertanian dan perkebunan merusak tanah.
iii.
Menerapkan sistem ekonomi perang dan
sistem autarki (memenuhi kebutuhan daerah sendiri dan menunjang kegiatan
perang). Konsekuensinya tugas rakyat beserta semua kekayaan dikorbankan untuk
kepentingan perang. Hal ini jelas amat menyengsarakan rakyat baik fisik maupun
material.
Pada
tahun 1944, kondisi politis dan militer Jepang mulai terdesak, sehingga
tuntutan akan kebutuhan bahan-bahan perang makin meningkat. Untuk mengatasinya
pemerintah Jepang mengadakan kampanye penyerahan bahan pangan dan barang secara
besar-besaran melalui Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian), serta
instansi resmi pemerintah. Dampak dari kondisi tersebut, rakyat dibebankan
menyerahkan bahan makanan 30% untuk pemerintah, 30% untuk lumbung desa dan 40%
menjadi hak pemiliknya. Sistem ini menyebabkan kehidupan rakyat semakin sulit,
gairah kerja menurun, kekurangan pangan, gizi rendah, penyakit mewabah.
c. Aspek Kehidupan Militer
Pada aspek militer ini, memahami bahwa badan-badan militer
yang dibuat Jepang semata-mata karena kondisi militer Jepang yang semakin terdesak
dalam perang Pasifik. Memasuki tahun kedua pendudukannya (1943), Jepang semakin intensif
mendidik dan melatih pemuda-pemuda Indonesia di bidang militer. Hal ini disebabkan
karena situasi di medan pertempuran (Asia – Pasifik) semakin menyulitkan Jepang.
Mulai dari pukulan Sekutu pada pertempuran laut di Midway (Juni 1942) dan sekitar Laut Karang
(Agustus 1942
– Februari 1943). Kondisi tersebut diperparah dengan jatuhnya Guadalacanal yang merupakan
basis kekuatan Jepang di Pasifik (Agustus 1943).
Situasi di atas membuat Jepang melakukan konsolidasi kekuatan
dengan menghimpun kekuatan dari kalangan pemuda dan pelajar Indonesia sebagai tenaga
potensial yang akan diikutsertakan dalam pertempuran menghadapi Sekutu.
|
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Pada masa pendudukan Jepang terjadi pengekangan politik terhadap Indonesia. Sejak masuknya kekuasaan Jepang di Indonesia,
organisasi-organisasi politik tidak dapat berkembang lagi. Bahkan pemerintah
pendudukan Jepang menghapuskan segala bentuk kegiatan organisasi-organisasi,
kemudian diganti dengan organisasi buatan Jepang, sehingga kehidupan politik
pada masa itu diatur oleh pemerintah Jepang. Pada masa
Pemerintahan Militer Jepang yang paling terlihat adalah dengan penghapusan
Gubernur Jenderal yang kemudian diganti dengan Gubernur Jepang.
Tidak hanya pengekangan politik
yang terjadi di Indonesia, akan tetapi pemerasan sosial-ekonomi terhadap
Indonesia juga terjadi antara lain pemerasan bahan makanan dan pemerasan tenaga
kerja yang dilakukan oleh pemerintah Jepang.
2.
SARAN
Kita
perlu mengkaji lebih dalam lagi mengenai sejarah sistem pemerintahan pada masa
kolonial jepang dan mengkaji lagi efektifitas dan mekanisme pada masa itu yang
hingga sekarang terus mengalami dinamika diberbagai bagian Indonesia.
|
|
Zaini,
Abdullah. 1991. Pengantar Hukum Tata
Negara. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Abu Daud Busroh dan H. Abukakar Busro;
1983. Asas-asas Hukum Tata Negara.
Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Laksono, Danang Tunjung dan Ekowati
Kusuma ;2012. Sejarah Ketatanegaraan
Indonesia.
Sukoharjo : Pustaka Abadi Sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar